Pendidikan Indonesia, Makin Baik atau ....
Hai gaes, kembali lagi bersama Pak Adi di sini, tetap di blog yang kontennya bolong-bolong karena yang punya beneran ga konsisten ngeblog.
Wokey, ga masalah. Sing wis ya wis, yang lalu biarlah berlalu, mari tatap masa depan gemilang. Terlebih kita punya menteri pendidikan yang baru nich, jadinya ya bakalan banyak yang diomongin, termasuk fakta yang tidak bisa dibantah kalau ganti mentri pasti ganti kurikulum. Iyain aja karena itu emang kenyataan. Ente beralasan fafifu wasweswos ya ga ada yang peduli plus percaya.
All right then, mari kita mulai konten curhatan ini dengan foto set up meja kerja saya yang baru. Keren ga, teman-teman? Soalnya jarang-jarang saya bersih-bersih meja, biasanya berantakan banget.
meja kerja saya, padahal tujuan utamanya cuma pengen pamer mangga yang di kiri itu, manis banget loh |
Ok, dalam postingan kali ini saya mau berbagi sedikit opini saya, mumpung pada waktu saya ngepost artikel ini, momennya pas banget, yakni tepat pada saat 25 November 2024, yakni perayaan Hari Guru Nasional.
Dalam konteks kehidupan saya pribadi, Hari Guru Nasional selalu jadi momen spesial, bukan karena beberapa anak akan bagi-bagi kue ke para guru, namun karena saya menjadikan ini kesempatan refleksi (cie refleksi, bahasanya ketinggian, awas ketabrak pesawatnya Pak Prabowo).
Merefleksikan diri saya yang kok jadi guru tambah lama tambah susah dan ribet ya. Katanya tiap menteri siap memerangi gejala guru sakit panas karena administrasi, tapi kok yang ada cuma ganti istilah, ganti kata-kata, ganti kurikulum. Hadeh, pusing pala batman!
Guru itu ya Ngajar, Eh Kata Siape?
Ya pada dasarnya guru itu harusnya cuma ngajar. Tapi pada kenyataannya jauh panggang dari api, guru harus serba bisa.
Bisa jadi MC dadakan, bisa jadi EO, bisa jadi negosiator yang mendamaikan Korea Utara vs Korea Selatan, bisa jadi penyanyi saat lomba nyanyi dan bahkan bisa jadi tukang dekor.
Itu belum kerjaan administrasi lainnya. Tapi di Kurikulum Merdeka ini, saya ngerasa banget kok kalo administrasi berubah jadi jauh lebih ringan dan sebenarnya kurikulum yang masih piyek alias masih bayi ini jika terus dimatangkan akan jadi pembeda bagi pendidikan Indonesia, meski sayangnya menteri yang baru rasanya akan melanjutkan tradisi ganti menteri ganti kurikulum.
Kurikulum Merdeka memang jauh dari kata sempurna tetapi di dalamnya sudah terlihat pemetaan yang jelas tentang arah pendidikan bangsa.
Terlebih investasi pemerintah di bidang ini saya yakin besar banget, entah berapa puluh triliun ya, tetapi itu kan pajak rakyat juga, bukan uang para menteri, pak presiden apalagi anggota DPR. Jadi kalau Kurmer mau disuntik mati, rasa-rasanya sedih banget uang yang sudah dikeluarkan kayak dibuat seperti obat nyamuk bakar.
Ketidakjelasan Birokrasi
Judul artikel ini emang luar binasa banget, ketidakjelasan birokrasi. Kok kayak hiperbola banget ya, hambok yang nyantai-nyantai aja dul, kayak ucapan terimakasih sudah diberi coklat sama wafer.
Eh, pengennya gitu sih cuma makin direfleksikan, kok makin bikin pening ya kalo ga ditelorkan dalam tulisan. Bukankah ciri masyarakat sehat itu yang gemar berbagi ide lewat tulisan. Siapa yang bilang saya lupa namanya, tapi intinya baik itu curhat di medsos atau ngeblog, kadang perlu biar ga gila sendiri alias bisa ngajak pembaca jadi gila juga.
Yey, dapat jajan. Sisanya sudah masuk perut sebelum kefoto. |
Disclaimer dulu gaes, ini bukan naskah akademik ya, cuma curhatan dari seorang guru yang menjadi pelaksana lapangan dari berbagai kebijakan pemerintah, meski saya di institusi swasta.
Lanjut! Biar makin terorganisir, saya akan buat dalam bentuk poin-poin agar apa yang ingin saya sampaikan lebih mudah dipahami.
Pergantian kurikulum yang terlalu ekstrem.
Bayangkan saja, sejak kecil hingga sekarang, artinya belum 30 tahun, saya sudah mengalami setidaknya beberapa kurikulum, yakni kurikulum 94 yang disempurnakan, KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 13, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Kurikulum Tematik dan terakhir Kurikulum Merdeka.
Dari kurikulum 94 (atau apalah namanya) yang paling diingat adalah adanya EBTANAS dimana DANEM sangat menentukan kemana sekolah kita selanjutnya. Tapi perlu diingat di sini tidak ada batas bawah alias KKM yang membuat siswa tidak lulus/tamat.
Jadi yang pinter bisa bahagia, yang ga pinter ga perlu ngulang juga. Semua pasti lulus, cuma mau kemana itu urusan nanti. DANEM atau DAftar Nilai Ebtanas Murni, menjadi kunci untuk masuk SMP/SMA selanjutnya. Biasanya sekolah negeri (waktu itu belum banyak dan tiap sekolah negeri tidak jor-joran menerima murid baru atas nama supaya bisa dapat BOS) jadi favorit. Guru-guru PNS negeri unggulan terkenal karena disiplin dan kecerdasannya.
KBK datang sekitar saat saya kelas 2 SMP. Pada waktu itu SMP saya masuk percontohan, lupa berapa jumlahnya, intinya sebelum berlaku nasional, sekolah saya sudah pakai sistem semester. Lainnya masih pakai cawu alias catur wulan.
Di KBK ini mulai muncul istilah-istilah macam: Kognitif, Psikomotorik dan Afektif. Terdengar sangar dan sangat revolusioner padahal ya malah kacau.
Kenapa kacau? karena belum selesai dan matang, sekitar 2005-2007, KBK tetap diterapkan tetapi dengan bentuk baru. Mulai muncul projek-projek dan anak-anak sekolah tiap hari diminta duduk berkelompok untuk ngerjain sesuatu bersama. Mereka diminta presentasi, termasuk saya dan teman-teman, padahal landasan utama kognitif belum terbentuk. Inilah mengapa saya menolak memberikan presentasi dan pendekatan projek sebelum pemahaman dasar siswa sudah dimiliki.
KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan hadir, dengan memperkenalkan 8 Standard. Tidak terlalu berbeda dengan KBK, tetapi administrasi guru makin gila-gilaan. Muncullah istilah KKM dan SKM dimana orang mulai protes karena EBTANAS (yang berubah jadi UN lalu UNAS lalu entah apa lagi saya lupa, tapi intinya sama) menjadi penentu kehidupan. Siswa yang dapat nilai dibawah KKM harus mengulang. Kemudian diubah lagi boleh mengikuti Kejar Paket.
Saya kuliah dan masuk FKIP. Kurikulum 2013 muncul. Dan lebih parahnya, ini disusul Kurikulum Tematik yang membuat mata pelajaran diintegrasikan ke dalam tema-tema. Pelatihan digalakkan, jam-jam mengajar guru tersita untuk mengikutinya dan diseminasi tidak merata karena orang tua juga belum memahaminya. Alhasil semua keteteran.
Kurikulum Tematik diintegrasikan secara bertahap mulai dari kelas 1-4, lalu 2-5 dan terakhir 3-6. Ketika semua baru saja mulai memahaminya, dwarrrrr! KTSP jilid 2 datang lalu kembali ke hadirat kita. KTSP yang ini makin brutal karena selain menghapus sistem tema dalam sekejap. Muncullah CP/TP/ATP dan fase, sesuatu yang benar-benar asing tapi dampaknya belum terasa jika dilihat dari perubahan mutu pendidikan.
Lelah, Bund!
Harusnya di 2024 ini, KURMER makin matang dan kita para guru plus siswa fokus belajar, bukan lagi ikut diseminasi kurikulum baru. Kalau nanti Pak Mentri mau beneran ganti kurikulum, ya selamat datang diseminasi, pelatihan dan pengenalan sistem kurikulum baru, sekaligus sekali lagi anak-anak akan jadi generasi coba-coba. Padahal buat anak kok coba-coba.
Saya pernah mendapat kesempatan studi banding ke Singapura dan meski disana juga ada perubahan kurikulum, tetapi dilakukan secara terencana, kalau tidak salah setiap 10 tahun (CMIIW). Kurikulum yang gonta-ganti tidak akan membuat negara mampu punya generasi cerdas, tetapi malah akan mencetak siswa-siswa karbitan sekaligus mengacaukan cita-cita untuk membentuk bangsa yang intelek.
Bersama mbak-mbak dari Goethe Institut |
Saya sempat berpikir, daripada gini, mending ngadopsi kurikulum Singapura atau Cambridge selama 20 tahun dan baru dievaluasi. Buku-buku dari penerbit juga akan bertebaran karena sudah ada kepastian kurikulum. Ga kayak sekarang, orang baru mau nulis buku tentang Kurmer, belum cetak kurikulum sudah mau diganti. Lelah hayati.
PPG Berubah?
Sebenarnya masih banyak sih yang mau dicurhati di Hari Guru Nasional ini. Hal krusial lainnya adalah tentang PPG yang mana kemaren masih anget saya ikutan PPG.
Katanya skema PPG mau diganti. Menurut saya pribadi, salah satu motivasi utama ikut PPG karena berharap kesejahteraan meningkat. Jika benar PPG dijadikan ajang seleksi PPPK, siap-siap sekolah swasta bedol desa gurunya keluar ke sekolah negeri, khususnya yang pinter-pinter.
HGN juga tidak luput dari kontroversi. Threads saya penuh dengan adu nasib guru yang menormalisasi pemberian bingkisan dari ortu dalam bentuk hadiah (bukan jajanan kayak yang saya dapat), bekerja sama dengan korlas dan komite.
Di sisi lain orang tua yang keberatan karena ternyata sumbangannya ada nominalnya dan itu mengherankan bagi mereka, kok sudah ngajar dan dapat gaji dari SPP, masih harus 'diwajibkan' menerima bingkisan. Nah gitu lah pokoknya.
Saya sih ga paham ya karena di tempat saya hal seperti itu belum pernah terjadi dan saya harap semoga tidak terjadi.
Sedih juga sih hari yang riang gembira itu malah jadi ajang konfrontasi yang sebenarnya tidak sehat juga dalam kaitannya dengan hubungan siswa-guru-orang tua. Siswa tanpa guru, nanti belajar apa, meski bisa sih pakai AI dan Google, tapi sampai saat ini belum maksimal. Guru tanpa siswa, apalagi, jelas tidak mungkin, lah! Mau ngajarin diri sendiri?
Okey deh, saya ga mau panjang-panjang, takutnya para pembaca ngantuk. Saya juga sudah pegel ngetik, maklum lama ga ngeblog jadinya ngeblog ga bisa lama. Selamat Hari Guru Nasional 2024, sekian dan terima kasih.
5 komentar untuk "Pendidikan Indonesia, Makin Baik atau ...."
curhatan ini relatable banget, apalagi pas soal 'ganti menteri, ganti kurikulum'—kita serasa jadi kelinci percobaan ya!
Salut sama Kurikulum Merdeka yang mulai ngurangin beban admin, tapi sedih juga kalau akhirnya nanti cuma jadi proyek setengah jalan. Rasanya, pendidikan itu butuh konsistensi, bukan drama gonta-ganti terus. Btw, tulisan ini bikin refleksi di Hari Guru makin dalem. Semangat terus, Pak Adi, jadi inspirasi buat pendidikan Indonesia yang lebih baik!
Sekarang, tiap ganti menteri, kurikulum ganti. Buku tebal-tebal. Akhirnya kalau ganti menteri ga kepakai lagi, tinggal diloakin. Belum lagi ganti kebijakan ini itu, termasuk adanya sistem zonasi. Tapi harapannya, pendidikan Indonesia akan sesuai dan membaik. Aamin.
Yang benar, justru orangtua yang berperan, karena mereka mendidik anak sejak anak lahir. Waktu anak-anak di rumah juga lebih banyak dibanding di sekolah
Jadi apapun kurikulum ga masalah selama setiap individu tahu perannya dan menjalankan tugasnya